PEMANFAATAN CCTV BERDASARKAN ETIKA DAN HUKUM DI INDONESIA

Penulis : Joao Gusmao, Odilio Pereira, Seten, dan Yusri Amsal

Dosen Pembimbing: Gede Putra Kusuma, PhD

 

LATAR BELAKANG

            Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan sebuah sarana/media yang dapat digunakan untuk mempermudah manusia dalam mencari informasi, berkomunikasi, dan melakukan banyak pekerjaan lainnya. Perkembangan TIK sangat cepat dan sudah memasuki semua aspek kehidupan masyarakat. TIK memungkinkan kita untuk melakukan hal – hal baru dan juga melakukan hal – hal lama dengan cara baru.

            Dalam TIK perlu memperhatikan isu PAPA (Privacy, Accuracy, Intellectual Property, and Access) (Floridi, 2010). Isu privasi berkenaan dengan penyalahgunaan informasi pribadi individu/kelompok untuk kepentingan tertentu (komersial). Isu akurasi terkait dengan keakuratan dan kebenaran informasi yang dikumpulkan, diproses, atau disebarkan. Isu properti berkaitan dengan kepemilikan / hak cipta intelektual terhadap TIK. Sedangkan isu aksesibilitas berkenaan dengan keamanan TIK terhadap akses ilegal dari pihak – pihak yang tidak berwenang.

Pada kesempatan ini, akan dibahas isu etika yang berkaitan dengan privasi pada pemanfaatan teknologi Closed Circuit Television atau yang biasa disingkat CCTV. CCTV telah menjadi sebuah teknologi yang populer dan telah memasuki hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Teknologi CCTV dimanfaatkan oleh berbagai tempat publik seperti sekolah, rumah sakit, hotel, kantor, gudang, jalan raya, taman, dan banyak tempat lainnya untuk meningkatkan standar keamanannya. Namun di balik keuntungannya tersebut, CCTV sangat rentan terhadap isu privasi dan rawan disalahgunakan untuk tindakan kejahatan berbasis teknologi (Hasan, 2016).

 

PEMBAHASAN

Ruang publik di kota – kota besar sangat rawan terhadap tindakan kriminalitas karena selalu menjadi tempat berkumpulnya penduduk kota dari segala macam latar belakang. Pengawasan menggunakan CCTV dinilai sebagai salah satu cara untuk menciptakan keamanan yang maksimal, meskipun sebenarnya CCTV sangat efektif untuk menanggulangi tindak kejahatan namun kurang begitu efektif dalam usaha pencegahan (Hasan, 2016).

Di balik keuntungannya dari sisi keamanan, CCTV juga menimbulkan kontroversi tersendiri terkait dengan hak pribadi/privasi. Bagi sebagian orang, mungkin akan merasa risih ataupun terganggu ketika setiap aktivitas dan gerak – geriknya terekam pada CCTV. Selain itu, CCTV juga sangat rentan disalahgunakan untuk melakukan sebuah tindakan kriminal, misalnya seperti penyadapan.

Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya mengatur pemanfaatan CCTV dengan menjamin hak pribadi/privasi setiap orang. Aturan tersebut tertuang pada Pasal 26 UU ITE yang mengatur tentang hak setiap orang untuk mengajukan gugatan perdata apabila merasa hak pribadinya telah dirugikan. Isi Pasal 26 UU ITE adalah sebagai berikut (HukumOnline, 2013):

(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang – undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan “data pribadi” merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Yang dimaksud “hak pribadi” terkait pemanfaatan teknologi informasi berdasarkan penjelasan Pasal 26 UU ITE adalah sebagai berikut (HukumOnline, 2013):

  1. Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
  2. Hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata – matai.
  3. Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga mengatur pemanfaatan CCTV dengan melakukan revisi UU ITE dewasa ini. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar ruang lingkup UU ITE lebih luas dalam mengatur dan menertibkan teknologi informasi dan pemanfaatannya. Revisi tersebut tertuang dalam perubahan Undang – Undang No. 19 tahun 2016 mengenai perubahan Undang – undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) (Kriyasa, 2017). Salah satu poin yang direvisi pada UU ITE ini adalah ketentuan mengenai penyadapan/intersepsi menggunakan CCTV yang dinilai terlalu luas, sebagaimana disebutkan pada pasal 31 UU ITE (Kriyasa, 2017), bahwa:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.

Revisi/penjelasan terkait kata penyadapan/intersepsi yang ada pada pasal 31 ayat 1 UU ITE tersebut adalah sebagai berikut (Kriyasa, 2017):

Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Hukuman untuk pelanggaran Pasal 31 ayat 1 dan/atau 2 tersebut adalah sebagai berikut (Kriyasa, 2017):

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Sehingga dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pengambilan gambar melalui CCTV yang tidak bersifat publik tergolong sebagai tindakan penyadapan/intersepsi. Pengecualian terhadap intersepsi seperti yang terdapat pada Pasal 31 ayat (2) UU ITE di atas adalah intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang – undang.

KESIMPULAN

Pemanfaatan CCTV perlu memperhatikan faktor etika dan hukum yang berlaku agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari. Berdasarkan uraian di atas, menurut kami, pemanfaatan CCTV tidak melanggar etika dan hukum yang ada, selama objek/orang yang bersangkutan mengetahui secara sadar atau menyetujui bahwa segala tindakan yang dilakukan pada suatu tempat tertentu direkam dan tidak menimbulkan kerugian pada orang tersebut.

SARAN

Untuk menghindari permasalahan etika dan hukum, sebaiknya dalam pemanfaatan teknologi CCTV perlu mencantumkan informasi yang dapat dilihat oleh objek/publik di tempat yang terpasang CCTV tersebut. Dengan kata lain, sangatlah penting mengkomunikasikan pemanfaatan teknologi CCTV agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kesalahan persepsi dari orang/objek yang direkam.

REFERENSI

Floridi, L. (2010). The Cambridge Handbook of Information and Computer Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.

Hasan, A. M. (2016, July, 27). CCTV: Antara Fungsi, Privasi, dan Kontroversi. Retrieved January 18, 2018, from https://tirto.id/cctv-antara-fungsi-privasi-dan-kontroversi-bwmJ.

HukumOnline. (2013, May 28). Hukum Merekam Menggunakan Kamera Tersembunyi (Hidden Camera). Retrieved December 29, 2017, from http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt508a38edc9c87/hukum-merekam-menggunakan-kamera-tersembunyi-(hidden-camera).

Kriyasa, M. I. (2017, January 12). Bagaimana Hukum Penyadapan CCTV Berdasarkan Revisi UU ITE 2016?. Retrieved December 29, 2017, from http://ekonomi.kompas.com/read/2017/01/12/130000326/bagaimana.hukum.penyadapan.cctv.berdasarkan.revisi.uu.ite.2016.

I Gede Putra Kusuma Negara