Ethical Issue: Media Sosial dan Berita Bohong

Penulis: Tan Ci Bui,  Briant Stevanus, dan Billy Sulistyo

Dosen Pembimbing: Gede Putra Kusuma, PhD

  1. Pendahuluan

Hoax sangat berhubungan dengan hal yang berdekatan dengan kita sehari-hari. Terkait masalah kesehatan, keamanan, ekonomi, dan sebagainya. Pada saat ini sering terjadi berita hoax tentang berita penyembuhan bagi penyakit penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Hal ini juga menjadi viral karena adanya internet dan kebutuhan akan kesembuhan oleh penderita. Dimana internet memberikan informasi lebih cepat menjadi viral. Informasi hoax dapat berkembang dan tidak berkembang secara cepat, informasi tidak berkembang dengan cepat karena masyarakat mudah merasa bosan dan banyak masyarakat lain juga yang sudah mengerti dan paham dari isi berita yang disebarkan. Sehingga berita hoax dapat dengan mudah disudahi. Namun masih banyak juga masyarakat yang percaya dengan berita-berita hoax sehingga informasi hoax dapat tersebar luas di luar sana. Dengan kondisi ini dapat memberikan peluang industri dan semankin banyak orang dalam membuat berita palsu, yang mencakup soal agama, pondasi bangsa, indikasi mendorang makar, dan sebagainya. Informasi-informasi yang disebarkan dapat di lakukan oleh siapapun dan dimanapun. Di Indonesia berita hoax ini sangat banyak dan jumlah beritanya tidak dapat tercatat. Munculnya hoax di Indonesia karena adanya indikasi untuk mencari uang dan beraliansi politik yang banyak dilakukan dalam pilkada. Dimana hoax  dapat menjatuhkan salah satu partai politik dengan dibelikan hosting atau dibayar untuk menulis tentang hal-hal tertentu dan disebarkan melalui media sosial. Media sosial ini berperan penting dalam menyebarkan hoax, karena masyarakat dapat menyebarkan, menerima, dan membaca melalui media sosial seperti blogging, social network, forum, dan sebagainya.

Berdasarkan survei yang dilakukan (Macnamara, 2010) wright dan hinson menemukan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap media sosial. Pada Tabel 1, menjelaskan pengaruh media sosial yang ada terhadap masyarakat. Dimana banyak orang menggunakan search engine marketing dalam membaca atau menerima berita dengan angka mean anova 3.63. Dan Mean anova terendah dengan 2.60 pada photo sharing. Dengan rata-rata yang dikeluarkan menjelaskan bahwa media sosial sangat berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, yang mana dapat memberikan dampak negatif. Untuk itu, kita harus bersikap mengerti dan paham dalam menanggapi suatu berita dimedia apapun. Dimana sikap itu dapat kita lakukan sejak dini dengan pemberian edukasi yang benar dalam memanfaatkan media sosial, agar membawa dampak positif bukan dampak negatif, perubahan pola pikir dalam mengelolah atau mencerna suatu berita dimana informasi yang didapatkan harus dibaca keseluruhan agar tidak terjadi hoax. Dan peranan ICT dalam memerangi hoax yaitu, dengan gagasan adanya barcode atau tanda khusus kepada media yang sudah terverifikasi agar berita yang dikeluarkan sudah teregister dan terverifikasi kebenarannya. Peranan Badan cyber nasional dalam membangun infrastruktur teknologi indonesia yang baik dengan penanganan konten negatif atau permanent blocking terhadap situs-situs yang dianggap negatif. Pada tahun 2016, survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia(APJII) mencatat terdapat 132 juta orang Indonesia adalah pengguna Internet. Dengan banyaknya pengguna internet, masyarakat harus memandang teknologi dengan berpikir kritis.

 

 

  1. Kekuatan Berita Bohong

Pemilihan presiden di Amerika Serikat pada tahun 2016, menjadi ajang pembuktian kekuatan dari berita bohong serta dampaknya bagi sebuah negara.(Allcott & Gentzkow, 2017). Penyebaran berita bohong tidak saja dapat menjadi salah satu cara untuk melakukan social engineering. Penerapan social engineering yang tidak tepat dan dibelakangi oleh kepentingan tertentu sangat berbahaya pada hasil yang ditimbulkan dikemudian hari. Contoh paling konkrit dan hasil yang ditimbulkan setelahnya dapat dilihat pada pemilihan presiden di Amerika 2016 silam. Permainan politik praktis yang disertai dengan berita bohong yang menyebar dengan sangat pesat turut mengambil bagian penting dalam “mendoktrinkan” presepsi pribadi individu yang tidak memiliki tingkat intelektual atau golongan kepentingan tertentu.


Gambar 1 Histogram Pengunjung Berita di Amerika Serikat Berdasarkan Sumber Berita

 

Penyebaran berita bohong tidak dapat dipungkiri, paling mudah menyebar melalui social media. Hal ini disebabkan oleh dua factor utama yaitu:

  1. Faktor ketidaktahuan akan keabsahan sumber berita,
  2. Faktor kebencian, keberpihakan dan dorongan demoralisasi.

Gambar 2. Pie Chart Sumber Penyebaran Berita

Kemampuan pembaca merupakan salah satu kunci utama dalam menekan tingkat penyebaran berita bohong. Pada penerapan langsung yang dilakukan oleh beberapa perusahaan social media adalah dengan menggunakan jasa pihak ke-tiga secara khusus adalah jasa pembukti fakta atau ”fact checkers”. Walaupun tidak mengintervensi secara langsung dalam menghapus dan memberikan sanksi administratif. Facebook memberikan peringatan apabila ada pengguna yang ini membagikan artikel tersebut.

Gambar 3. Contoh Fact Checkers

 

  1. Berita Bohong dan Isu Etika

Berita bohong atau hoax, kerap membawa dampak buruk. Dampak buruk ini dapat berpengaruh secara signifikan. Salah satu dampak yang sangat terlihat adalah dengan pengarahan pola piker dan presepsi publik yang terjadi pada saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 lalu. (Allcott & Gentzkow, 2017) Penyebaran berita bohong, apabila dilihat kembali berdasarkan beberapa teori etika moral yang ada, seperti teori Aristotelian dan Utilitarian, tidak ada satupun dari teori diatas yang dapat membenarkan dilakukan penyebaran berita bohong, berikut penjelasannya:

  1. Aristotelian, merupakan teori yang mengemukakan nilai moral kebenaran dan keadilan terhadap setiap tindakan yang dilakukan. Dengan jelas, penyebaran berita bohong di media sosial merupakan sebuah tindakan tidak terpuji karena membohongi orang lain merupakan sebuah kesalahan.
  2. Utilitarian, merupakan nilai yang mementingkan kualitas dan nilai dari setiap konsekuensi yang diambil dari setiap tindakan. Konsekuensi yang harus ditanggung dari berita bohong dapat bermacam-macam, dapat berupa pengarahan pendapat, pembodohan publik, pembohongan publik dan dapat berupa kerugian materil yang harus ditanggung oleh seseorang atau sekelompok orang.

Contoh konkritnya yang terjadi pada pemilihan presiden Amerika 2016 lalu, dapat berupa seperti pengarahan opini publik yang dapat menyebabkan seseorang tidak dapat memilih calon pemimpin negaranya sesuai dengan kata hati nuraninya, dikarenakan telah dibohongi dan dibodohi dengan berita bohong yang dikonsumsinya. Pengarahan opini dan ujaran yang tidak dapat dipertanggung jawabkan merupakan hal menarik untuk dipahami apabila dilihat melalui sudut pandang informasi yang dikandungnya.

Beberapa teori yang melihat informasi dari berbagai sudut pandang, memiliki pendapatnya masing-masing:

  1. Information as a resource ethics

Berdasarkan sudut pandang ini, maka informasi yang tersebar haruslah sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sebab, dalam mengambil sebuah keputusan diperlukan integritas dan keabsahan sebuah informasi yang ada sehingga dapat menghasilkan keputusan yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Berita bohong (hoax) tentu tidak memenuhi aspek ini dikarenakan secara nilai kebenaran tidak dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu tentu tidak dapat memberikan keputusan yang baik pula.

  1. Information as a product ethics

Informasi sebagai produk, berhubungan erat dengan etika informasi sebagai sumber daya. Hal ini dikarenakan informasi dapat menjadi hasil akhir yang dapat digunakan kembali sebagai sumber daya. Oleh karena itu, informasi yang dihasilkan dan informasi yang akan digunakan harus dapat dipertanggung jawabkan. Berita bohong tentu memberikan dampak yang dapat merugikan dan mengarahkan keputusan seseorang atau kelompok demi kepentingan tertentu. Sehingga berita bohong pun tidak memenuhi aspek yang diharapkan untuk menghasilkan informasi sebagai produk yang beretika.

  1. Information as a target ethics

Informasi sebagai sebuah target atau tujuan merupakan, sudut pandang yang melihat etika dalam pemanfaatan informasi tententu. Informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan bukanlah sesuatu yang dituju atau informasi yang akan diambil secara paksa. Namun sesuatu yang sengaja disebar untuk menimbulkan keresahan dan tujuan untuk kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu hoax tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang ini.

 

  1. Masa Depan Berita Bohong

Penggunaan jasa pihak ke-3 dirasa membutuhkan banyak tenaga dan waktu dalam penerapannya. 1,74 Milyar pengguna aktif Facebook dengan platform mobile, (sumber Statista.com dan komparasi dengan zephoria.com) asumsi setiap satu orang mengawasi setiap 100 orang pengguna aktif maka dibutuhkan kurang lebih 17.400.000 orang fact checkers. Untuk menghantar layanan ini kedepannya beberapa perusahaan teknologi terkemuka telah mengembangkan algoritma untuk menekan angka penyebaran berita bohong ini. Algoritma menemukan berita bohong menggunakan berbagai aspek fitur seperti:

  1. Linguistic
  2. Keywords
  3. Data Representation
  4. Deep Syntax
  5. Semantic Analysis
  6. Rhetorical Structure and Discourse Analysis
  7. Topic Classifiers . (Conroy, Conroy, Rubin, & Chen, 2015)

 

  1. Penutup

Suatu kebohongan tetaplah sebuah kebohongan. Kerugian yang ditimbulkan tidak dapat dibenarkan secara apapun. Penurunan nilai moral terjadi dikarenakan berita bohong, kerusuhan dan keresahan juga ditimbulkan oleh berita bohong. Perpecahan bangsa juga merupakan salah satu hasil akhir dari sebuah berita bohong. (Allcott & Gentzkow, 2017) Tidak sebanding kerugian yang ditimbulkan dengan keuntungan yang didapat oleh golongan tertentu. Ada baiknya untuk tetap menahan diri dan memeriksa kembali kebenaran berita sebelum membagikan berita tersebut. Walaupun teknologi telah berkembang dalam pencegahan dan pendeteksi berita bohong yang terdapat dalam masyarakat.

Dalam melindungi masyarakat Indonesia, pemerintah dengan tegas telah mengatur undang-undang dalam pasal 28 ayat 1 UU ITE yang berisikan sebagai berikut:

Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.”

Untuk itu, dalam menyebarkan informasi ada baiknya kita memastikan kembali kebenaran dan nilai kebaikan sebuah informasi, sehingga tidak mengakibatkan penurunan nilai atau malah membodohi masyarakan demi kepentingan sekelompok orang tertentu.

 

Bibliography

Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Nber Working Paper Series Social Media and Fake News in the 2016 Election, (March), 1–32. Retrieved from http://www.nber.org/papers/w23089%0Ahttp://www.nber.org/papers/w23089.ack

Conroy, N. J., Conroy, N. J., Rubin, V. L., & Chen, Y. (2015). Automatic Deception Detection : Methods for Finding Fake News Automatic Deception Detection : Methods for Finding Fake News, (OCTOBER).

Macnamara, J. (2010). Public relations and the social: How practitioners are using, or abusing, social media. Asia Pacific Public Relations Journal, (December), 21–39. Retrieved from http://www.deakin.edu.au/arts-ed/apprj/articles/11-macnamara.pdf

http://www.bbc.com/news/blogs-trending-38769996

https://www.statista.com/statistics/264810/number-of-monthly-active-facebook-users-worldwide/

https://zephoria.com/top-15-valuable-facebook-statistics/