Menyelaraskan Etika atas Kemajuan Teknologi Informasi: Masalah Etika dalam Big Data

Penulis: Utami Lestari, Frendi, Rudiyana, dan Ignatius Rahardjo Heruwidagdo

Dosen Pembimbing: Gede Putra Kusuma, PhD

  1. Abstrak

Big Data merupakan fenomena atas kemajuan Teknologi Informasi dan Komputer yang memungkinkan penggabungan serta penggunaan secara masif sejumlah data yang dihasilkan atas berbagai informasi. Karakteristik data dalam Big Data dikenal dengan jargon volume, variety, velocity, serta veracity. Informasi yang dihasilkan dari Big Data perlu mendapat perhatian dari sisi etika, karena ketika data begitu cepat dan mudahnya diambil, kemudian dianalisa, hingga diekploitasi yang memungkinkannya publikasi atas privasi data. Hal ini karena perilaku berbagi dan kemudahan penggunaan data tersebut. Paper ini membahas empat teori etika, yaitu: Kantianisme, Utilitarianisme, Teori Kontrak Sosial dan Teori kebajikan. Setiap teori di hubungkan dengan isu atas Big Data.

  1. Pendahuluan

Fenomena Big Data mempengaruhi cara memandang data, bagaimana semakin memahami data dengan baik akan menentukan pada apa yang dapat dilakukan atas data. Saat ini tercatat sekitar 2,5 quintilion bytes data yang di hasilkan, sebanyak 90% nya merupakan data di seluruh dunia yang terkumpul hanya dalam 2 tahun terakhir (Herschel & Miori, 2017). Begitu banyaknya data yang terkumpul inilah yang disebut dengan Big Data.

  1. Latar Belakang Masalah

Empat dimensi Big Data secara umum adalah: volume, variety, velocity, dan veracity. Volume data di tahun 2020 diperkirakan menjadi 40 zettabyte, meningkat sekitar 300 kali sejak tahun 2005 (Herschel & Miori, 2017). Variety data meningkat sejalan dengan banyaknya sumber dan bentuk baru dari data, seperti video, media sosial, peta lokasi dan bentuk data lainnya yang akan berkembang sejalan dengan aplikasi yang semakin kaya (media rich). Velocity berkaitan dengan kemajuan infrastruktur telekomunikasi, seperti banyaknya penggunaan jaringan wireless serta bandwidth berkecepatan tinggi yang memungkinkan proses transfer dan sharing data secara global. Diperkirakan ada sekitar 18,9 milyar koneksi – hampir 2,5 koneksi per orang di seluruh dunia (Herschel & Miori, 2017).

Namun yang perlu mendapat perhatian adalah, data yang meningkat secara volume, variety dan velocity bukanlah data yang seluruhnya siap dipergunakan, melainkan data mentah yang memerlukan pengolahan lebih lanjut. Pengolahan data mentah (indiscriminate) inilah yang mungkin saja melibatkan data yang bersifat pribadi, sehingga melanggar privasi. Bahkan, Gartner memprediksi di tahun 2018, 50% pelanggaran etika bisnis akan muncul atas penyalahgunaan analisis Big Data (Herschel & Miori, 2017).

  1. Pembahasan – Ethical Perspectives

Etika secara umum berpengaruh pada sifat menguntungkan atau merugikan pihak lain dalam penggunaan Teknologi informasi, khususnya Big Data. Etika sendiri telah menjadi pembahasan sejak kurang lebih 2400 tahun lamanya (Herschel & Miori, 2017) dan selama kurun waktu tersebut, telah banyak menghasilkan rumusan berbagai prinsip-prinsip etika.

Secara umum, berbagai teori etika mengandung kesamaan, memungkinkannya setiap teori membuat argumen yang bersifat membujuk (persuasive), logis (logical) dan beralasan (reasoned) berdasarkan pada prinsip-prinsip dalam teori etika. Untuk membahas lebih lanjut, empat teori etika akan dibahas, yaitu: Kantianisme, Utilitarianisme, Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory), dan Etika Kebajikan (Virtue Ethics).

 

Kantianisme

Etika Kantian, dipelopori oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), yang merupakan teori etika yang peduli pada bukan apa yang kita lakukan, melainkan apa yang harus kita lakukan (“not about what we do, but what we ought to do” (Herschel & Miori, 2017)). Hal ini karena adanya kepatuhan (dutifulness), mencerminkan keinginan luhur (good will) – hasrat untuk melakukan sesuatu dengan baik mengikuti aturan yang harus di patuhi semua orang. Orang akan bertindak sesuai dengan apa yang harus dilakukan karena aturan moral (morale rule), yang menyatakan bahwa siapapun harus tunduk pada peraturan moral, dan kita mengharapkan orang lain juga tunduk pada aturan moral tersebut. Di sisi lain, menyatakan bahwa siapapun sebaiknya diperlakukan sesuai dengan martabatnya. Bagi penganut Kant, hasil dari suatu keadaan bukanlah tujuan utama, melainkan aturan yang melatar belakangi tindakan adalah hal yang paling penting.

 

Utilitarianisme

Dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873), menekankan bahwa benar atau salah ditentukan oleh akibat dari tindakan atau dari suatu peraturan (“right or wrong based on the consequences of an act or a rule”, (Herschel & Miori, 2017)). Untuk itu, etika utilitarianisme harus memperhitungkan tindakan atau peraturan seperti apakah agar dicapai hasil yang terbaik.

Dari tinjauan penganut Kant, terlihat lebih mengutamakan pada keinginan yang memotivasi suatu tindakan, sedangkan utilitarianisme lebih mengutamakan hasil yang membuat kesejahteraan atau kebahagiaan bersama (“Kantian perspective where the focus is upon examining the will that motivates an action, in Utilitarianism it is the “happiness” or the maximum well-being outcome that is most critical”, (Herschel & Miori, 2017)).

 

Teori Kontrak Sosial

Teori Kontrak Sosial (hasil diskusi diantara beberapa filsuf, seperti Thomas Hobbs (1588-1679), John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan John Rawls (1921-2002) merupakan pandangan etik bahwa moral seseorang dan/atau kewajiban politis tergantung pada suatu kontrak atau perjanjian bagaimana orang-orang tersebut membentuk masyarakatnya (“a person’s moral and/or political obligations are dependent upon a contract or agreement that people have made to form the society in which they live”, (Herschel & Miori, 2017)). Untuk itu, orang-orang tersebut harus lebih memilih alasan yang rasional dibanding alasan yang mengikuti naluri alami ego nya semata.

 

Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Etika kebajikan lebih menekankan pada kebajikan, atau karakter bermoral, dan tidak sekedar pada kewajiban, peraturan maupun akibat atas perbuatannya. Filsuf etika kebajikan ini adalah Aristoteles (384 SM-322 SM) dan Plato (428 SM-347 SM), yang merumuskan bahwa kebajikan sebagai sifat maupun watak yang menjadikan seseorang berperilaku baik (“virtue as a character trait or disposition that is well entrenched in its possessor which makes that person good”, (Herschel & Miori, 2017)). Terdapat dua jenis kebajikan, yaitu: kebajikan intelektual dan moral. Kebajikan intelektual berasal dari penalaran (reasoning) dan kebenaran (truth). Kebajikan moral merupakan kebiasaan atau watak yang terbentuk karena adanya pengulangan tindakan/perbuatan baik, secara terus menerus. Contohnya adalah: kejujuran (honesty), keadilan (justice), kemurahhatian (generosity), serta kesetiaan (loyalty) merupakan inti dari kebajikan.

 

  1. Teori Etika dalam Isu Big Data

 

Kantianisme

Kantianisme berpendapat untuk selalu menghargai kemandirian (autonomy) orang lain, dalam arti selalu melibatkan kemandiriannya selamanya, dan tidak pernah mengakhirinya (“treating them as ends in themselves and never only as means to an end”, (Herschel & Miori, 2017)). Big Data justru mengolah dan mengeksploitasi data tanpa persetujuan si pemilik data, yang berarti memperlihatkan ketidak respekannya terhadap otonomi seseorang. Bahkan, seakan-akan memperlihatkan persetujuan semua pihak, bahwa data dapat disebarluaskan. Terlihat bahwa privasi telah dapat dipergunakan untuk kepentingan pihak lain. Penganut paham Kantian memerlukan suatu peraturan yang menyatakan bahwa apakah informasi milik siapapun dapat disebarluaskan. Big Data masih merupakan problema bagi kaum Kantian, Big Data harus menjawab tantangan berkaitan dengan isu mengenai hak dan  perlakuan adil bagi individu.

 

Utilitarianisme

Dalam paham Utilitarianisme, diperlukan suatu tindakan dan aturan yang disetujui mengenai baik buruknya Big Data yang terukur, dapat berupa nilai-nilai positif dan negatif akibat dari penggunaan Big Data. Seperti kemungkinan apa saja yang dapat ditimbulkan, sejauh mana kebaikannya dibanding keburukannya, seberapa banyak akibatnya terhadap orang lain. Sehingga dalam memutuskan apakah penggunaan Big Data benar atau salah, tergantung pada seberapa besar kebaikannya dibanding keburukannya bagi suatu kelompok masyarakat. Meskipun, tidaklah mudah menentukan ukuran baik dan buruknya Big Data bagi suatu kelompok masyarakat, selain akibat tidak tepatnya pengukuran juga kekurang pahaman akan Big Data itu sendiri sehingga perlu/tidak digunakan dalam memberi kebaikan/keburukan sosial.

 

Teori Kontrak Sosial

Teori Kontrak Sosial menekankan perlunya tercipta suatu peraturan yang diterima bagi semua orang, karena setiap orang mendapatkan keuntungan/kebaikan bersama (mutual benefit). Inti Teori Kontrak Sosial adalah bagaimana berbagai kelompok masyarakat (societies) yang berbeda dalam memandang suatu isu moral, akan membuat kesepakatan (compromise) bersama. Dalam Teori Kontrak Sosial, hak privasi seseorang dilindungi, namun berkewajiban juga untuk menghargai hak privasi orang lain. Masih menjadi pekerjaan rumah bagaimana menyelesaikan dilema moral yang diakibatkan Big Data.

 

Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Etika Kebajikan mengutamakan pada kualitas hidup manusia yang senantiasa berkembang dan mencapai kebahagiaan sejati (“qualities that people need to flourish and be truly happy”, (Herschel & Miori, 2017)). Manusia berbudi luhur (virtuous person) akan melakukan perbuatan baik setiap saat. Menurut etika kebajikan, keputusan yang berlandaskan moral  (yang baik) akan menghasilkan peraturan yang baik pula (“moral decisions cannot be reduced to a set of rules”, (Herschel & Miori, 2017)). Implementasi Big Data dituntut untuk sepenuhnya tergantung pada karakter dan niat bagi siapapun yang menerapkan Big Data (“.. all depends on what we conclude about the character and intent of those who employ Big Data”, (Herschel & Miori, 2017)). Etika Kebajikan menghadapkan langsung dengan karakter seseorang, seberapa luhur orang tersebut.

 

  1. Kesimpulan

Etika dipertimbangkan dalam menghadapi kemajuan Teknologi Informasi, khususnya Big Data, karena membantu dalam membangun kerangka suatu argumen mengenai baik dan buruknya kemajuan Teknologi Informasi menggunakan logika, sehingga menghasilkan argumen yang rasional (masuk akal) (“what makes ethics so valuable is that it helps us to frame our arguments about what is right or wrong using logical, rational arguments” (Herschel & Miori, 2017)). Sehingga etika dapat dipergunakan dalam memahami dan menilai apakah Big Data memenuhi moral yang baik. Dengan adanya teori etika, diharapkan untuk lebih mampu memahami berbagai pandangan berbeda berkaitan dengan moral dalam Big Data, bagaimana menilai dengan lebih baik lagi terhadap maksud suatu perbuatan atau yang bagaimana seharusnya dibenarkan ( “… and in so doing better evaluate how the intended course of action is or should be justified” (Herschel & Miori, 2017)).

  1. Saran

Perlunya dibangun pemahaman bersama mengenai kesadaran akan adanya batasan-batasan dalam memanfaatkan dan penggunaan secara efektif data dan teknologi pendukungnya. Setiap orang perlu dibekali dengan keahlian bagaimana menggunakan data dan teknologinya secara benar (Royal Statistical Society. (2016)). Perubahan budaya tak dapat dihindari akibat kemajuan teknologi. Setiap organisasi yang terlibat dalam perubahan budaya berkenaan dengan perkembangan teknologi, perlu saling melakukan komunikasi bersama, agar etika senantiasa dapat mengawal  perubahan budaya berkenaan dengan perkembangan teknologi.

Pemerintah perlu terlibat secara langsung dan aktif (bersama-sama dengan perusahaan yang bergerak dalam Teknologi Informasi) dalam menetapkan aturan, regulasi maupun batasan-batasan  mengenai tanggung jawab, akuntabilitas, kebijakan dan prosedur dalam pemanfaatan analisis big data. Pemerintah juga sebaiknya turut terlibat secara langsung dan aktif dalam memonitor pemanfaatan Big Data dalam masyarakat, (bila perlu) melakukan perbaikan maupun perubahan atas aturan berkenaan dengan perkembangan teknologi yang terus menerus berubah, khususnya teknologi Big Data.

Yang tak kalah penting adalah, adanya penegakan hukum maupun sanksi atas pelanggaran, khususnya pelanggaran etika, atas kesepakatan dan peraturan yang telah disetujui bersama. Sehingga semua pihak dapat merasakan manfaat yang lebih baik dan lebih besar dalam pemanfaatan teknologi, khususnya Big Data, dan tetap dalam koridor penegakan hukum yang berlandaskan etika.

  1. Daftar Pustaka

 

Herschel, R., & Miori, V. (2017). Ethics & Big Data. Technology in Society. doi: 10.1016/j.techsoc.2017.03.003

 

Royal Statistical Society. (2016). Workshop Report. The Opportunities and Ethics of Big Data.

 

https://www.secureworldexpo.com/industry-news/10-big-data-analytics-privacy-problems