PENYALAHGUNAAN INFORMASI/BERITA HOAX DI MEDIA SOSIAL
Penulis: Abner, Khaidir, Mohammad Ridho Abdillah, Rizky Bimantoro, Weiby Reinaldy
Dosen Pembimbing: Gede Putra Kusuma, PhD
Latar Belakang
Pada kemajuan teknologi informasi komunikasi saat ini tidak hanya memberikan dampak yang positif tetapi juga memberikan dampak yang buruk. Penyampaian akan informasi begitu cepat dimana setiap orang telah dengan mudah memproduksi informasi, dan informasi yang begitu cepat tersebut melalui beberapa media sosial seperti facebook, twitter, ataupun pesan telpon genggam seperti, whatsapp dan lain sebagainya yang tidak dapat difilter dengan baik.
Informasi yang dikeluarkan baik orang perorang maupun badan usaha melalui media sosial dan elektronik ketika telah terkirim dan dibaca oleh banyak orang dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran bahkan tindakan seseorang atau kelompok. Sangat disayangkan apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat terlebih informasi tersebut adalah informasi bohong (hoax) dengan judul yang sangat provokatif mengiring pembaca dan penerima kepada opini yang negatif. Opini negatif, fitnah, penyebar kebencian yang diterima dan menyerang pihak ataupun membuat orang menjadi takut, terancam dan dapat merugikan pihak yang diberitakan sehingga dapat merusak reputasi dan menimbulkan kerugian materi.
CNN Indonesia menyebutkan bahwa dalam data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech) (Pratama, 2016). Kemkominfo juga selama tahun 2016 sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dari jumlah itu, paling banyak yaitu unsur pornografi (Jamaludin, 2016).
Pembahasan
Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu (Wikipedia, n.d.).
Bagaimana HOAX Bekerja ?
Menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya pada hoax. Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki (Respati, 2017). Contohnya jika seseorang penganut paham bumi datar memperoleh artikel yang membahas tentang berbagai teori konspirasi mengenai foto satelit maka secara naluri orang tersebut akan mudah percaya karena mendukung teori bumi datar yang diyakininya. Secara alami perasaan positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi sehingga cenderung tidak akan mempedulikan apakah informasi yang diterimanya benar dan bahkan mudah saja bagi mereka untuk menyebarkan kembali informasi tersebut. Hal ini dapat diperparah jika si penyebar hoax memiliki pengetahuan yang kurang dalam memanfaatkan internet guna mencari informasi lebih dalam atau sekadar untuk cek dan ricek fakta.
Terdapat empat mode dalam kegiatan penemuan informasi melalui internet, diantaranya adalah:
- Undirected viewing
Pada undirected viewing, seseorang mencari informasi tanpa tahu informasi tertentu dalam pikirannya. Tujuan keseluruhan adalah untuk mencari informasi secara luas dan sebanyak mungkin dari beragam sumber informasi yang digunakan, dan informasi yang didapatkan kemudian disaring sesuai dengan keinginannya.
- Conditioned viewing
Pada conditioned viewing, seseorang sudah mengetahui akan apa yang dicari, sudah mengetahui topik informasi yang jelas, Pencarian informasinya sudah mulai terarah.
- Informal search
Mode informal search, seseorang telah mempunyai pengetahuan tentang topik yang akan dicari. Sehingga pencarian informasi melalui internet hanya untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang topik tersebut. Dalam tipe ini pencari informasi sudah mengetahui batasan-batasan sejauh mana seseorang tersebut akan melakukan penelusuran. Namun dalam penelusuran ini, seseorang membatasi pada usaha dan waktu yang ia gunakan karena pada dasarnya, penelusuran yang dilakukan hanya bertujuan untuk menentukan adanya tindakan atau respon terhadap kebutuhannya.
- Formal search
Pada formal search, seseorang mempersiapkan waktu dan usaha untuk menelusur informasi atau topik tertentu secara khusus sesuai dengan kebutuhannya. Penelusuran ini bersifat formal karena dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Tujuan penelusuran adalah untuk memperoleh informasi secara detail guna memperoleh solusi atau keputusan dari sebuah permasalahan yang dihadapi (Choo, Detlor, & Turnbull, 1999).
Perilaku penyebaran hoax melalui internet sangat dipengaruhi oleh pembuat berita baik itu individu maupun berkelompok, dari yang berpendidikan rendah sampai yang tinggi, dan terstruktur rapi. (Lazonder, Biemans, & Wopereis, 2000) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam menggunakan search engine dengan orang yang masih baru atau awam dalam menggunakan search engine. Mereka dibedakan oleh pengalaman yang dimiliki. Individu yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam memanfaatkan search engine, akan cenderung lebih sistematis dalam melakukan penelusuran dibandingkan dengan yang masih minim pengalaman (novice).
Berita hoax semakin sulit dibendung walaupun sampai dengan 2016 pemerintah telah memblokir 700 ribu situs, namun setiap harinya pula berita hoax terus bermunculan. Pada Januari 2017 pemerintah melakukan pemblokiran terhadap 11 situs yang mengandung konten negatif, namun kasus pemblokiran tersebut tidak sampai menyentuh meja hijau. Beberapa kasus di indonesia terkait berita hoax telah memakan korban, salah satunya berita hoax akan penculikan anak yang telah tersebar di beberapa media sosial dan menyebabkan orang semakin waspada terhadap orang asing,
Peran Pemerintah dalam berita Hoax
Sikap pemerintah dalam fenomena berita hoax dipaparkan dalam beberapa pasal yang siap ditimpakan kepada penyebar hoax tersebut antara lain, KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Tidak hanya itu, penyebar berita hoax juga dapat dikenakan pasal terkait ujaran kebencian dan yang telah diatur dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP.
Dari hukum yang dibuat oleh pemerintah, jumlah penyebar hoax semakin besar tidak berbanding lurus dengan jumlah persidangan yang seharusnya juga besar. Dengan masih belum mampu menjerat beberapa pelaku hoax, sangat disayangkan pemerintah hanya melakukan pemblokiran terhadap situs-situs hoax. Sementara si pembuat berita hoax masih dapat terus berproduksi melakukan ancaman dan memperluas ruang gerak.
Dalam melawan hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoax. Selain produk hukum, pemerintah juga sedang menggulirkan kembali wacana pembentukan Badan Siber Nasional yang dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran informasi yang menyesatkan, selain memanfaatkan program Internetsehat dan Trust+Positif yang selama ini menjalankan fungsi sensor dan pemblokiran situs atau website yang ditengarai memiliki materi negatif yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu juga mengemuka gagasan menerbitkan QR Code di setiap produk jurnalistik (berita dan artikel) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi validitas sebuah informasi. QR Code yang disertakan di setiap tulisan akan memuat informasi mengenai sumber berita, penulis, hingga perusahaan media yang menerbitkan tulisan tersebut sehingga suatu tulisan dapat dilacak hingga hulunya.
Selain mengasah kembali berbagai program pendidikan yang berperan dalam menanamkan budi pekerti, dari aspek pendidikan pemerintah sebenarnya dapat melawan hoax dengan meningkatkan minat baca, berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca (Gewati, 2016). Hal ini tergolong berbahaya karena dipadukan dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan aktifitas jejaring sosial tertinggi di Asia, yang berarti sangat mudah bagi orang Indonesia untuk menyebarkan informasi hoax tanpa menelaah lebih dalam informasi yang disebarkannya.
Peran Media dan Masyarakat
Semakin berkembangnya hoax di masyarakat juga mendorong beberapa pihak dalam mulai melawan penyebaran hoax. Sejak tahun 2016 lalu, Facebook mulai memperkenalkan fitur yang memungkinkan sebuah link artikel yang dibagi melalui Facebook akan diberi tanda Dispute (ditentang) bagi artikel-artikel yang ditengarai menyebarkan informasi yang dapat diragukan kebenarannya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Fitur dispute dalam Facebook (Chordhry, 2017)
Aplikasi pesan instan populer seperti Line juga mulai memerangi hoax dengan aktif menyebarkan informasi melalui Line New manakala suatu hoax mulai ramai di tengah masyarakat.
Selain platform sosial media tersebut, masyarakat juga mulai menggagas program Turn Back Hoax, dimana suatu informasi hoax akan diidentifikasi dan dipublikasi mengenai kebenarannya melalui berbagai media, diantaranya grup Facebook dan melalui website Turn Back Hoax sendiri.
Pencegahan Berita Hoax
Literasi media adalah perspektif yang dapat digunakan ketika berhubungan dengan media agar dapat menginterpretasikan suatu pesan yang disampaikan oleh pembuat berita. Orang cenderung membangun sebuah perspektif melalui struktur pengetahuan yang sudah terkonstruksi dalam kemampuan menggunakan informasi (Pooter, 2011). Juga dalam pengertian lainnya yaitu kemampuan untuk mengevaluasi dan menkomunikasikan informasi dalam berbagai format termasuk tertulis maupun tidak tertulis.
Literasi media adalah seperangkat kecakapan yang berguna dalam proses mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu dapat dengan lebih kritis menanggapi apa yang mereka lihat, dengar, dan baca.
Program Internet Sehat dan Aman
Munculnya gerakan literasi media khususnya internet sehat merupakan salah satu wujud kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk media internet. Perkembangan internet selain memberikan dampak positif pada kehidupan manusia juga memiliki dampak negatif. Beberapa dampak negatif tersebut diantaranya adalah mengurangi tingkat privasi individu, dapat meningkatkan kecenderungan potensi kriminal, dapat menyebabkan overload-nya informasi, dan masih banyak lagi (Sholihuddin, n.d.).
Tujuan gerakan internet sehat adalah untuk memberikan pendidikan kepada pengguna internet untuk menganalisis pesan yang disampaikan, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik dibalik citra atau pesan di internet dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan yang diimplikasikan itu. Oleh karena itu, agar gerakan internet sehat dapat berjalan secara optimal maka sangat diperlukan pendidikan berinternet salah satunya adalah pendidikan etika berinternet. Pendidikan internet lebih pada pembelajaran tentang etika bermedia internet, bukan pengajaran melalui media. Pendidikan etika bermedia internet bertujuan untuk mengembangkan baik pemahaman kritis maupun partisipasi aktif, sehingga anak muda sebagai konsumen media internet memiliki kemampuan dalam membuat membuat tafsiran dan penilaian berdasarkan informasi yang diperolehnya. Selain itu anak muda mampu menjadi produser media internet dengan caranya sendiri sehingga menjadi partisipan yang berdaya di komunitasnya (Setiawan, 2012).
Freedom of Speech
Penyebaran berita palsu yang marak terjadi ini jika dikaitkan dengan etika pada internet adalah penyalahgunaan freedom of speech. Freedom of speech ini berasal dari negara-negara yang memiliki tradisi liberal yang menyalahkan apabila seseorang mempunyai batasan dalam mengemukakan pendapat dan memiliki fungsi masing-masing individu pada komunitas dapat mengemukakan pendapat, menyalahkan seseorang, memuji seseorang dll sebebas-bebasnya pada suatu komunitas (Floridi, 2010). Dengan berkembangnya media sosial yang dapat melintasi antar negara atupun benua, masing-masing budaya dan tradisi tidak akan berperan dalam hal pembatasan penyebaran informasi ini. Berawal dari biasnya budaya tersebut, hak Freedom of Speech seringkali disalahartikan dan salahgunakan untuk menciptakan berita hoax yang bertujuan memang untuk membuat sensasi pada media sosial tersebut atau memang sengaja agar pengguna internet dapat mampir pada website sang pembuat berita hoax tersebut agar meraup keuntungan dari jumlah pengunjung yang banyak pada websitenya.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
- Semakin besarnya jumlah penguna internet dan dengan mudahnya mendapatkan informasi saat ini menjadikan berita hoax semakin dengan mudah tersebar.
- Aturan dan pasal untuk menjerat hukuman untuk penyebar hoax belum mampu mengendalikan jumlah jumlah berita hoax yang terus terproduksi setiap waktu.
- Biasnya budaya-budaya pada negara yang sudah melek internet/media sosial membuat berita hoax semakin mudah tersebar.
Saran :
- Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan akan internet Sehat dengan Literasi media sehingga dapat mengenali ciri-ciri berita hoax, dan penerima berita dapat mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dalam mengambil makna dari suatu berita
Referensi
Choo, C. W., Detlor, B., & Turnbull, D. (1999). Information Seeking on the Web–An Integrated Model of Browsing and Searching. ASIS Annual Meeting, 5(2), 1–15. https://doi.org/10.5210/fm.v5i2.729
Chordhry, A. (2017). Facebook Launches A New Tool That Combats Fake News. Retrieved May 4, 2017, from https://www.forbes.com/sites/amitchowdhry/2017/03/05/facebook-fake-news-tool/#460b19677ec1
Floridi, L. (2010). The Cambridge Handbook of Information and Computer Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Gewati, M. (2016, August 29). Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia. Kompas.com. Retrieved from http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia
Jamaludin, F. (2016, December). 773 ribu situs diblokir Kemkominfo setahun, pornografi paling banyak. Merdeka.com. Retrieved from https://www.merdeka.com/teknologi/773-ribu-situs-diblokir-kemkominfo-setahun-pornografi-paling-banyak.html
Lazonder, A. W., Biemans, H. J. a, & Wopereis, I. G. J. H. (2000). Differences between novice and experienced users in search information on the World Wide Web. https://doi.org/10.1002/(sici)1097-4571(2000)51:6<576::aid-asi9>3.0.co;2-7
ONS. (2015). Internet Users.
Pooter, J. W. (2011). Media literacy (7th ed.). California: SAGE. https://doi.org/10.1332/policypress/9781847424396.003.0018
Pratama, A. B. (2016, December). Ada 800 Ribu Situs Penyebar Hoax di Indonesia. CNN Indonesia. Retrieved from http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161229170130-185-182956/ada-800-ribu-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/
Respati, S. (2017, January 23). Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita “Hoax”? Kompas.com. Retrieved from http://nasional.kompas.com/read/2017/01/23/18181951/mengapa.banyak.orang.mudah.percaya.berita.hoax.
Setiawan, A. B. (2012). Penanggulangan Dampak Negatif Akses Internet Di Pondok Pesantren Melalui Program Internet Sehat Overcoming Negative Impact of Internet Access in Pondok Pesantren Through Healhty Internet Program.
Sholihuddin, M. (n.d.). Pengaruh Kompetisi Individu (Individual Competence) Terhadap Literasi Media Internet Di Kalangan Santri. Unair.
Wikipedia. (n.d.). Pemberitaan palsu.